Rabu, 03 April 2013

Aswaja


BAB I

PENDAHULUAN
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain.


BAB II

PEMBAHASAN

A.     SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SERTA TOKOH PENGEMBANGNYA

Berkembanya ahlussunnah wal jam’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya islam di Indonesia yang di bawa oleh para wali. Di pulau jawa, peranan wali songo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi ahlussunnah wal jama’ah. Namun, ahlussunnah wal jama’ah yang di kembangkan wali songo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak di lembagakan dalam satu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembaga’an ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul ulama’ (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagama’an yg secara formal dan normatif menempatkan ahlussunnah wal jama’ah sebagai paham keagama’an yang di anutnya. KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep ahlussunnah wal jama’ah dalam kitab Qonun al-asasiy li jami’yyah nahdlatul ulama’.

Mengenai istilah ahlussunnah wal jama’ah, KH. M.Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-baqa’ dalam bukunya , Al-kulliyyat, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan,meskipun jalan itu tidak di sukai. Menurut syara’, sunnah adalah sebutan bagi jalan yang di sukai dan dijalani dalam agama sebagaimana di praktekkan oleh Rasulullah SAW. Atau para tokoh lainnya, seperti para sahabat.

Sesudah generasi tersebut , yang meneruskan aajaran ahlussunnah wal jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu di lanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi setelah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian di kenal sebagai penerus nabi,yaitu ulama’.

Nabi Saw. Bersabda : “ ulama’ adalah penerang-penerang dunia, pemempin-pemimpin di bumi, dan pewaris ku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibnu ‘ady). Itu sebabnya, paham ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran islam yang di ajarkan rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, makna ahlussunnah wal jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi,yakni kelompok yang mengikuti para imam madzhab, seperti maliki, hanafi, syafi’i, dan hambali dalam bidang fiqih; mengikuti abu al-hasan al-asy’ari dan abu Mansur al-maturidi dalam bidang tauhid,dan junaid al-baghdad dan al-ghazali dalam bidang tasawuf.

B.     ASWAJA DALAM PANDANGAN NU
Aswaja dalam pandangan NU adalah orang yang memegang teguh Al-Qur’an dan mengikuti segala sesuatu yang telah dijalankan oleh Rosululloh SAW, para sahabatnya, serta As Salaf As Solih dan penerusnya. Dalam pelaksanaannya NU mengikuti madzhab empat yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. Dalam bidang syariah, mengikuti aqidah berdasarkan pendapat Imam Abu Hasan Al Asy’ary dan Imam Abu Mansyur Al Maturidy. Sedangkan dalam bidang tasawuf dan akhlaq mengikuti Imam Juned Al Baghdadi dan Imam Ghozali.
NU mengakui keberadaan Aswaja sebagai pilihan beribadah kepada Allah SWT yng mendasarkan atas sabda Nabi SAW
“Rosululloh bersabda: demi Dzat yang jiwaku berda dalam genggaman-Nya, umatku akn pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu masuk Surga dan yang tujuh puluh dua masuk Neraka. Sedang sahabat bertanya: siapa itu ya Rasul? Jawab Nabi: ia adalah Ahlussunah Waljama’ah” (H.R. Tabrani).
Inilah landasan kenapa orang NU memilih Aswaja sebagai doktrin yng diakui kebenarannya dan menjalankan ajaran-ajaran yang yang terkandung dalam Aswaja itu sendiri. Sebagaimana penjelasan hadis di atas, maka NU memandang bahwa ajaran yang dilakukan setiap hari harus didasarkan kepada hadis dan tindakan Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabatnya. Maka dari itu, Nabi SAW menegaskan bahwa Ahlussunah Waljama’ah adalah mereka yang mengikuti ajaran Nabi dan juga perilaku para sahabt-sahabatnya.
NU dalam menjaga kelestarian nilai-nilai Aswaja serta dalam rangka menjaga kemurnian ajaran aswaja tersebut menggunakan ulama sebagai penjaga dan sekaligus sebagai penuntun agar tidak tersesat dalam pemahaman, ajaran dan tingkah laku Aswaja. Maka tidak jarang orang NU akan taat benar dengan apa yang dikatakan oleh Kyai dan Ulama karena posisi mereka yang terpercaya sebagai pewaris ajaran Islam Aswaja. Oleh karena itu, dalam pandangan mayoritas warga NU mengikuti ulama adalah sebagian dai ikhtiar mengikuti sunah Nabi dan para sahabatnya.“Rosululloh bersabda: ikutilah ulama, karena mereka itu bagai lampu dunia dan lentera akhirat” (H.R. Dailamy)
Berfikir luwes jernih dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur Intelektual Muda NU yang menyerap banyak literature baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang menjadi kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.Konsep Ahlussunah Waljama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlussunah Waljama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tidak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang dabetable?
Apapun ia tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU berkeliat mencari makna kebenaran Ahlussunah Waljamaah yang dikultuskan dan menjadi untrougtable, para kyai justru terancam eksistensinya. Ada apa semua ini? Said Agil Siraj, seorang seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti hal ini dan akhirnya mengalami nasib yang sama dengan sesama intelektual, mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runtutan pemikiran berikutnya. Ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunah Waljama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideology yang tidak bisa di tawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan ke watak asli Ahlussunah Waljama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan dengan prinsip berpikir yang tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana intelektual di tubuh NU. 

C.     ADAPTASI ASWAJA DALAM TRADISI INDONESIA
                        Tidak ada organiasasi yang begitu keras kalimnya terhadap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) seperti NU, karena itu NU menjadi organisasi Aswaja terkemuka. Aswaja merupakan sebuah falsafah hidup yang membentuk sistem keyakinan, metode pemikiran dan tata-nilai. Dengan cakupan itu, Aswaja menjadi sangat luas dan menyeluruh, sehingga bisa disebut sebagai way of life (cara hidup) sebagaimana Islam itusendiri.

         Meskipun Aswaja meliputi persoalan dasar keyakinan dan petunjuk kehidupan, tetapi sering kali kalangan awam hanya melihat dari segi cabangnya saja, seperti pelaksanaan doa, qunut, tahlil, ziarah kubur, perayaan nishfu sya’ban, mengamalkan tarekat dan sebagainya. Amaliyah furu’iyah ini yang mengedepan dalam Aswaja, sehingga sering menjadi perdebatan. Kalangan Islam moderrnis yang berafiliasi Wahabi menuduh amalan tersebut sebagai bid’ah, khurafat dan sebagainya. Selama ratusan tahun  hingga saat ini, kelompok Islam modernis dengan segala variannya mencoba menggusur tradisi Aswaja tersebut. Walaupun gempuran tersebut sangat gencar, tetapi yang terjadi sebaliknya, tradisi amaliyah Aswaja tersebut bahkan semakin meluas diamalkan oleh masyarakat. Tentu saja amaliyah tersebut susah dimusnahkan, karena akar-akar amalan tersebut tidak hanya tertanam dalam ajaran Islam sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Aswaja, tetapi juga tertancap ke dalam bumi tradisi. Mengamalkan ajaran Aswaja tidak hanya diniati sebagai sebuah ajaran agama, tetapi sekaligus juga dipahami sebagai mengamalkan tradisi dan budaya. Karena itu siapa yang tidak mengamalkan ajaran tersebut dianggap tidak mengenal tradisi dan tidak memiliki kebudayaan, bahkan dianggap tidak memiliki tatakrama dan kesopanan, sehingga bisa dianggap tidak beradab bagi pelanggarnya.Sebagai contoh, melakukan tahlil bagi orang yang meninggal, walaupun oleh kalangan modernis-Wahabi dianggap bid’ah, tetapi orang tidak peduli dengan tuduhan tersebut. Tidak hanya kalangan Nahdlatul Ulama, kalangan orang awam, bahkan yang dalam kategori abangan atau setengah sekular merasa harus menjalankan amalan tersebut. Meninggalnya Mbah Surip dan Dramawan terkemuka WS Rendra misalnya, secara spontan sebagaimana diajarkan tradisi, mereka menyelenggarakan tahlil, yang dihadiri oleh sanak saudara, handai taulan dan kawan. Bahkan novelis anggota Lekra Pramoedya Ananta Toer yang dianggap tidak beragama lagi secara formal, ketika meninggal malah diselenggarakan tahlilan untuk mendoakan arwahnya. Hal itu menunjukkan bahwa ketika agama telah diletakkan dalam ranah tradisi     
                        maka akan menjadi sangat kokoh, karena itu Islam mengajarkan bahwa al-‘aadah (tradisi) merupakan bagian dari hukum. Tradisi itulah yang akan menjaga dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para wali dan ulama dahulu ketika menyiarkan Islam dilakukan melalui sarana tradisi dan budaya setempat, sehingga agama yang diajarkan benar-benar diresapi sebagi sarana hidup dan akan hidup sejauh ada kehidupan itu sendiri. yang menghabiskan tenaga selama ratusan tahun sejak zaman kaum Paderi di Sumatera Barat, tidak berhenti hingga saat ini. Sebaliknya tidak sedikit akhirnya mereka yang mengikuti amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah ini. Adat dan tradisi akan selalu diikuti oleh orang tanpa dapat dibendung, mereka akan mengikuti tradisi dan adat sesuai perkembangan konteks zamannya sendiri.
Memang banyak jalan yang bisa ditempuh dalam taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pelaksanaan berbagai macam amalan tersebut merupakan bagian dari ubudiyah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Upaya yang sungguh-sungguh dan sepenuh hati disertai kerinduan yang abadi kepada Sang Pencipta itulah yang mendorong mereka mengamalkan berbagai bentuk ibadah, untuk ber-taqorrub, mencari keteduhan dan kedamaian dari-Nya.
Setiap menjelang puasa, orang berduyun-duyun menjalankan ritual Nishfu Sya’ban secara khusyuk. Ubudiyah tersebut juga tidak semata memiliki nilai ukhrawi, tetapi juga memiliki dimensi duniawi, untuk menjalin keakraban dan pergaulan sesama manusia sebagai sudara dan sebagai tetangga. Dengan keakraban tersebut relasi sosial yang erat terjadi sehingga terjadilah integrasi sosial yang mengikat mereka dalam satu tata nilai, saling menjaga, saling memberi dan saling melindungi.
                        Inilah dimensi sosial dari amaliyah ubudiyah tadi, sehingga secara secara sosiologis amaliyah tersebut juga memiliki nilai. Karena telah menjadi sebuah tata-nilai social, maka ajaran tersebut sulit dicerabut dan dihancurkan, karena akarnya telah masuk dalam tradisi dan budaya setempat, ajaran agama menjadi kokoh ketika beradaptasi dan menyatu dengan tradisi.














BAB III
PENUTUP
      KESIMPULAN
·         Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
·         Berkembanya ahlussunnah wal jam’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya islam di Indonesia yang di bawa oleh para wali. Di pulau jawa, peranan wali songo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi ahlussunnah wal jama’ah.
·         Aswaja dalam pandangan NU adalah orang yang memegang teguh Al-Qur’an dan mengikuti segala sesuatu yang telah dijalankan oleh Rosululloh SAW, para sahabatnya, serta As Salaf As Solih dan penerusnya. Dalam pelaksanaannya NU mengikuti madzhab empat yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. Dalam bidang syariah, mengikuti aqidah berdasarkan pendapat Imam Abu Hasan Al Asy’ary dan Imam Abu Mansyur Al Maturidy. Sedangkan dalam bidang tasawuf dan akhlaq mengikuti Imam Juned Al Baghdadi dan Imam Ghozali.









DAFTAR PUSTAKA
·         Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)
·         Azyumardi, Azra, jaringan ulama. 1994, Bandung ; Mizan. Badri, Yatim, sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar