BAB
I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang tasawuf, tentunya kita
harus mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tasawuf. Karena ibarat
memakan buah durian, kita harus bergumul dulu dengan kulitnya baru mendapatkan
isinya. Sama juga dengan tasawuf, kita harus tau kulit tasawuf itu apa,
selanjutnya kita mengetahui tasawuf lebih dalam lagi.
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata
atau istilah yang dihubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Misalnya
menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf yaitu: al-suffah (ahl
al-suffah), muhajirin (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke
Madinah), shaf (baris), sufi (suci), dan suf (kain wol).
Dari segi linguistic (kebahasaan) ini
segera difahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan
selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian pada hakikatnya adalah akhlak
yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi
istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang
digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan
para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia
sebagai mahkluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai
makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya
mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan
perhatiannya hanya kepada Allah SWT.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN
ILMU TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
A.
Keterkaitan
ilmu tasawuf dengan ilmu kalam
Sebagai
sebuah disiplin ilmu keislaman, tasawuf tidak dapat lepas dari keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu keislaman lainya, salah satunya dengan ilmu kalam.
Ilmu
kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan.[2]
Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada pembicaraan yang
mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun
naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang
cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah
biasanya bertendensi pada argumentasi dalil-dalil Al-Quran dan Hadist.[3]
Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli),
tetapi dengan metode-metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan Tuhan
ini berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, ilmu
ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau
ilmu ‘aqoid.
Pembicaraan
materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuk dzauq
(rasa rohanian). Sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat
sama’ (mendengar), Bashar (melihat), Kalam (berbicara), Hayat (hidup) dan
sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimana
hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana
pula perasaan hati seseorang ketika membaca al-quran, dan bagaimana seseorang
merasa bahwa swgala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah
(kekuasaan) Allah.
Pertanyaan
ini sulit terjawab apabila hanya melandaskan diri pada ilmu tahid dan ilmu
kalam. Biasanya yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman
kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf.[4]
Disiplin
inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan
memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja dalam
lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang
diwajibkan.
B. Fungsi Adanya Keterkaitan Antara
Ilmu Tasawuf dan Ilmu Kalam
1. Sebagai
pembari wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
lewat hati (dzauq dan widjan)terhadap ilmu tauhid atua ilmu kalam menjadikan
ilmu ini lebih terhayati atau lebih yeraplikasikan dalam prilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf
mwrupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu
tasawuf merupakan ilmu terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
2. Berfungsi
sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan Al-quran dan As-sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan.
3. Berfungsi
sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana
disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebagai ilmu
yang mengandung muatan rasional disamping muatna naqliayah. Jiak tidak
diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak dengan arah yang
lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memeberi muatan
rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman
belaka, yang kering dari penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).[5]
Bagaimanapun
amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa
sabar tidak ada, misalnya munculah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit,
lahirnya suatu kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga dengan ilmu tauhid dapat
member kontribusi terhadap ilmu tasawuf.
Untuk
melihat lebih lanjut hubungan ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, alangkah baiknya
menengok paparan Al-Ghazali Dalam bukunya yang berjudul Asma Al-Husna. Al-Ghazali
menjelaskan dengan baik persoalan tauhid kepad Allah, terutama ketika
menjelaskan nama-nama Allah.
Dengan
ilmu tasawuf, semua persoalan yang terdapat dalam kajian ilmu tauhid terasa
lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikasi.
BAB
II
PENUTUP
Demikikianlah
makalah yang dapat kami paparkan pada kesempatan kali ini, kami berharap dengan
adanya makalah ini dapat memberi setetes air digersangnya gurun pasir, dapat
memeberi seberkas cahaya dalam gelapnya pengetahuan.
Dialin
sisi kami juga mengharapkan tegur sapa serta saran yang bersikap konstruktif
guna perbaikan makalah kami dimasa yang akan dating.
DAFTAR
PUSTAKA
1. http://www.ekomarwanto.com/2012/07/pengertian-akhlak0tasawuf.html
2. Rozak
Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia,
Bandung. 2006.
3. Solihin
Muhammad, Ilmu Tasawuf, Pustaka
Setia, Bandung. 2011.
[1]http://www.ekomarwanto.com./2012/07/pengertian-akhlak-tasawuf.html
diundih pada: sabtu, 11 oktober 2012 pukul 21.35 WIB.
[2]Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka
Setia, 2006, h. 39.
[3]M.
Solihin, Ilmu Tasawuf, Bnadung:
Pustaka Setia, 2011, h. 96.
[4]Rozak,
op.cit., h. 44.
[5]Solihin,
op.cit., h. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar