BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Makalah ini
membahas tentang METODOLOGI STUDY ISLAM yang tertuju pada pokok pembahasan Pendekatan Study Islam Dalam Berbagai
Perspektif yang mana dalam hal ini masih bnyak orang awam belum mengetahuinya,
semoga penjalasan ini bisa memberi motivasi bagi untuk lebih mendalami dan
mengkaji hal tersebut.
RUANG LINGKUP
Ø Beberapa
Pendekatan Dalam Study Islam
Ø Study
Pemikiran Islam Dalam Perspektif Hukum Islam
Ø Study
Pranata Islam Tentang Pendidikan
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah
METODOLOGI STUDI ISLAM. Dan diharapkan pula dari makalah ini mahasiswa dapat
memahami setiap dampak dari suatu perubahan dan perkembangan zaman baik itu
dampak positif ataupun sebaliknya.
BAB
II
PEMBAHASAN
BEBERAPA
PENDEKATAN DALAM STUDY ISLAM
Pendekatan studi islam
dalam perspektif ilmu arkeologhy seperti prasati islam, situasi kota dan
peradaban islam.
1.
Dalam Prasati Islam
Sejarah masuknya islam di
banda seperti yang ditulis dalam prasati desa salamon adalah pada tahun 623 H
atau pada awal abad ke 12M prasasti ini terletak di pantai sebelah timur desa
salamon yang dibangun oleh masyarakat banda eli yaitu keturunan pertama dari
generasi pertama masyarakat yang menempati kepulauan banda. prasati ini menjadi
sangat menarik karena bertuliskan awal datangnya datangnya islam di banda, yang
notabenenya lebih dulu dari masuknya islam dijawa dan bahkan diindonesia, sehingga
prasasti itu menunjukkan bahwa islam sebenarnya masuk ke Indonesia melalui
timur bukan melalui barat.
Prasati lain pada zaman kerajaan islam prsasti menggunakan aksara dan
bahasa arab ataupun aksara arab namun bahasa melayu.
Adapun prasati terenggana
adalah prasasti tertua yang tertulis dalam huruf jawa .prasasti ini ditemukan
di terenggana, semenanjung malaka kurang lebih 30 km dari pantai timur pada abad
ke 20. Prasasti ini ditemukan oleh saudagar keturunan arab yang bernama sayid
Husain bin ghulam al- Bukhori, di sungai teresat dekat kuala berang menurut
penduduk setempat, prasati yang termaktub di atas batu ini sudah lama terletak
didepan surau (mushola) yang dipakai sebagai tumpuan kaki saat berwudhu.isi
teks yang berbahasa nelayu klasik ini mengenai undang- undang seorang raja,
sebuah catatan menarik disini ialah beberapa kata sansekerta masih dieja
menurut kaidah foneti bahasa ini.
2.
Peradaban Islam
Islam yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad. SAW. Telah membawa bangsa Arab yang semula bodoh,
terbelakang, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi
bangsa yang maju. Ia dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina suatu
kebudayaan dan peradaban yang sangat penting yang artinya dalam sejarah
manusia, hingga saat ini. Bahkan kemajuan barat pada mulanya bersumber pada
peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. H.A.R. Gibb. Dalam bukunya
Whiter Islam menyatakan, “Islam sesungguhnya
lebih dari sekedar sebuah agama ia adalah sebuah peradaban yang sangat
sempurna”.
Sejarah peradaban Islam
dibagi menjadi 3 periode yaitu: Klasik, pertengahan dan modern. Pada periode
Klasik Kebudayaan dan perdaban Islam identik dengan kebudayaan dan Peradaban
Arab sejalan dengan dominasi bangsa arab dalam pemerintah dan bahsa.
Dalam periode berikutnya,
mulai terjadi perubahan-perubahan signifikan dengan muncul dan berkembangnya
beberapa peradaban Islam. Sampai saat ini, tercatat empat kawasan pengaruh kebudayaan Persia,
Kawasan pengaruh Kebudayaan Turki dan Kawasan pengaruh Kebudayaan India-Islam
yang selalu menjadi Objek Kajian Keislaman kontemporer. Pengkajian secara Islam
di Indonesia mendapatkan porsi cukup besar.[1]
Disamping pendekatan dalam prasasti islam dan
peradaban islam ada juga beberapa pendekatan lainnya, yaitu :
1.
Pendekatan Misionaris Tradisional
Pendekatan ini muncul dan
digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan
gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik,
ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika. Para
misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk
mempermudah meng-kristen-kan orang beragama lain(proselytizing). Metode yang
digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen
yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris
adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
2.
Pendekatan Apologetik
Ciri dan karakter
pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan
apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di
hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan
modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat.
Pendekatan apologetik
merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap
dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam
abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para
penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan
bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946),dan
Islam in Modern History (1957).
Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual,kultural,dan agama Islam sendiri.
Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual,kultural,dan agama Islam sendiri.
Seperti halnya misionaris
yang tertarik mengkaji Islam,gerakan apologetik ini memiliki beberapa
karakteristik. Oleh karena apologetik lebih concern pada bagaimana menampilkan
Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam kesalahan
yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering
menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi,
selektivitas dan pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti,sering
menampilkan sisi romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan
dalam melakukan analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau
karakter tendensius. Kegagalan para apologis Muslim modern adalah melakukan
kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk
tujuan ilmiah.
3.
Pendekatan Filologi Dan Sejarah
Pendekatan filologi dan
sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun
sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh
pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual
yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi
sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan
bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan
perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit. Pendekatan filologi dapat
digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk
kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang
Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak
dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui
pendekatan filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan
budaya Islam yang terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu
faktor pada masa sekarang ini untuk melakukan revitalisasi Islam. Menurut
Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi
Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa
dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan
lain sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal
ini.
Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi. Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan pendekatan filologi,bahkan antara mereka saling tidak mempercayai. Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada pendapat Max Muller salah seorang dari tiga pencetus dan pendiri the study of religion yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama. Sampai-sampai ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows none”. Mudah dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan kedua yang kemungkinan besar akan mengandung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman. Apalagi jika penerjemah bukan pemeluk agama yang bersangkutan.
Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi. Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan pendekatan filologi,bahkan antara mereka saling tidak mempercayai. Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada pendapat Max Muller salah seorang dari tiga pencetus dan pendiri the study of religion yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama. Sampai-sampai ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows none”. Mudah dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan kedua yang kemungkinan besar akan mengandung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman. Apalagi jika penerjemah bukan pemeluk agama yang bersangkutan.
4.
Pendekatan Ilmu Sosial
Perkembangan yang sangat
penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan
kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap
Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara,
banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi
Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis
humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama.
Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang
mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial
dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita. Untuk menemukan
ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit.
Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial
sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama
pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang
wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu
sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog
membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi
dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan
sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang
berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas.
PEMIKIRAN
STUDY ISLAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Istilah
“hukum islam” merupakan kata yang populer dan dipergunakan dalam bahasa
Indonesia. Dalam pembicaraan
tentang hukum islam
yang terdapat dalam literatur
bahasa Arab adalah
“Fiqih” dan “syariat”
atau “hukum syara”. Menurut
ahli hukum islam,
fiqih adalah ilmu pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’
yang bersifat operasional
(amaliyah) yang dihasilkan dari
dalil-dalil yang terperinci.
Sedangkan syari’at atau
hukum syara’ adalah
seperangakat urutan dasar tentang
tingkah laku manusia yang
ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya2.
Mengetahui hukum
Allah yang diturunkan
melalui wahyu hanya
bersifat aturan dasar dan hukum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan
operasional, sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari
itu, diperlukan usaha
yang optimal penggalian
dan perumusan praktis yang
disebut ijtihad, yang
dilakukan seorang pakar
hukum yang dinamakan mujtahid. Langkah
ini harus dilakukan, karena
titah Allah yang bernilai hukun
dalam al-Quran jumlahnya sangat terbatas,
padahal persoalan yang
harus diselesaikan sangat
banyak, yaitu semua
dimensi kehidupan dengan
berbagai persoalannya dan persiapan hidupnya di akhirat kelak.
Titah Allah
dalam al-Quran ada
yang menunjukkan hukum secara
jelas dan pasti, yang biasa disebut dengan hukum qath’iy, sehingga tidak membutuhkan penjelasasn lebih
lanjut. Namun ada titah Allah itu yang tidak menunjukkan hukum secara jelas,
yang dikenal dengan sebutan dhanny, sehingga banyak membutuhkan penjelasan dan
pengembangan pikiran yang biasa
disebut dengan ijtihad.
Hukum yang dhanny
ini justru yang
paling dominan dalam al-Quran dari
pada qath’i. Dengan
demikian, Al-Quran dan hadits sebagai
aturan dasar yang bersifat umum ini, sebenarnya menunggu pemikiran-pemikiran
kreatif dari pemeluknya, sehingga mudah direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
STUDY
PRANATA ISLAM TENTANG PENDIDIKAN
Kehadiran agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. diyakini dapat menjamin terwujutnya kehidupan
manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup secara lebih bermakna.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya al-Qur’an dan Hadits, tampak amat ideal dan
agung. Dimana Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progesif, menghargai
akal pikiran melalui pendidikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan asumsi tersebut
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan
berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya
memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun
institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun
institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang
beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya
manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Secara historis pendidikan
Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw. Hal itu dikarenakan
adanya tuntutan ajaran Islam agar seluruh ummat Islam menjadi manusia yang
beriman, berilmu pengetahuan dan beramal saleh. Dengan adanya pendidikan Islam,
ummat Islam dididik secara fisik dan mental sesuai dengan ajaran Islam agar
menjadi pribadi yang tangguh, berilmu pengetahuan, beriman, dan bertakwa serta
dapat menjadi tumpuan atau dapat diharapkan bagi masa depan ummat Islam.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Beberapa Pendekatan Dalam Study Islam:
Ø Prasasti
islam
Ø Peradaban
islam
Ø
Pendekatan Misionaris Tradisional
Ø
Pendekatan Apologetik
Ø
Pendekatan Filologi Dan Sejarah
Ø
Pendekatan Ilmu Sosial
2.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
terdapat di dalam sumber ajarannya al-Qur’an dan Hadits, tampak amat ideal dan
agung. Dimana Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progesif, menghargai
akal pikiran melalui pendidikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
·
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 33
·
A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman
di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Dippertais, 2005),
·
HS. Paterson (dan C.O
Blagden ) An early malay from let sentury trengganu, journ,mal. Br. R. AS. A 1924.
G. Casfaris,
Indonesia Paleography 1975.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar