BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Nilai dan moral
dalam Islam sangat didahulukan dalam hal apapun termasuk dalam memelihara alam.
Alam yang diciptakan oleh Allah SWT, sangatlah diwajibkan bagi seluruh umat
manusia untuk menjaganya dari berbagai ulah manusia yang merusaknya. Salah
satunya adalah kegiatan memproduksi sumber-sumber kekayaan lingkungan demi
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini kami sebagai pemakalah akan
mengupas tentang batas-batas dalam memproduksi kekayaan alam ,peringatan Allah
akan kekayaan alam, memelihara sumber daya alam, dan lain sebagainya.
B.
RUANG LINGKUP
Ruang
lingkup makalah ini adalah membahas tentang “Nilai Dan Etika Dalam Bidang
Pengelolaan Kekayaan Alam”.
C.
TUJUAN PENULISAN,
Adapun
penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari
mata kuliah “PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM”, yang menjadi salah satu indikasi
system penilaian disetiap mata kuliah. Dan diharapkan pula dari makalah ini
mahasiswa dapat memahami nilai dan etika dalam bidang pengolaan kekayaan alam, sehingga
dapat mengambil sisi positifnya bagaimana menjadi seorang pakar ekomnom Islam.
D.
RUMUSAN MASALAH
1.
Peringatan Allah Akan Kekayaan Alam
2.
Produksi dalam batas yang halal
3.
Memelihara Sumber-Sumber Daya Alam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peringatan
Allah Akan Kekayaan Alam
Produksi
diefinisikan sebagai menciptakan kekayaan melalui ekploitasi menusia terhadpa
sumber-sumber kekayaan lingkungan.[1]
adapun berbagai sumber-sumber kekayaan alam itu diantaranya adalah lapisan gas
dengan beraneka ragam unsurnya.ia adalh lapisan kering dalam bentuaka tanah,
batu-batu bumi dan tambangnya. Ia lapisan air. Ia adalah fauna dengan beraneka
ragam. Ia tumbuh-tumbuhan dalam bentuk hutan yang lebat dan rerumputan,
kekayaan laut baik yang terdapat di tepi laut ataukah yang berada ditengah laut
yang dalam.
Itulah
yang diterapkan oleh para ahli ekonom. Apabila kita merenungkan Al-Quran, maka
kita akan mendapatkan betapa Al-Quran mendorong kita untuk mengolah sumber alam
ini. Al-Quran mengatakan akal kita dengan penuh kekuatan terhadap alam semesta
yang ada disekeliling kita seperti udara, air, laut, sungai, tumbuh-tumbuhan,
hewan ternak, barang keras, matahari, bulan, malam,dan siang. Semua itu
ditundukan untuk kebutuhan menusia, sebagai pemuliaan Allah terhadap manusia
untuk memandatkan segala yang ditundukkan kepadanya.
Sebagaimana
firman Allah:
وَسَخَّرَ
لَكُمْ مَافِيْ السَّمـوتِ وَمَا فِيْ الْاَرْضِ جَمِيْعًامِنْهُ اِنَّ فِيْ ذلِكَ
لَا يتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:
“Dan
dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Ini semuanya (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir. (al-jaatsiyah: 13)[2]
1.
Pengertian dan ruang lingkup produksi
menurut islam
Produksi adalah kegiatan manusia untuk
menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen[3]. Pada
saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan
konsumsi sering kaloi dilakukan oleh seseorang sendiri.
Beberapa pengertian produksi menurut
para ekonom muslim kontemporer:
a. Khaf
(1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam persepektif Islam sebagai usaha
manusia untuk memperbauki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga
moralitas, sebagai sarana untukmencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan
dalam agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Mannan
(1992) menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang Islami sehingga
ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto
Optimality dan Given Demand
Hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam
ekonomi konvensional
c. Rahman
(1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi
produksi secara merata)
d. UI
Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan
barang dan jasa yang merupakan fardhu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak
orang pemenuhannya bersifat wajib.
e. Siddiqi
(1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa
dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kemanfaatan (mashlahah) bagi
masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bersikap adil dan
membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.[4]
Dalam definisi-definisi tersebut diatas
terlihat sekali Bahwa kegaitan
dalam perspektif ekonomi Islam akhirnya mengerucut pada
manusia dan eksistensinya, m eskipun definisi-definisi tersebut berusaha
mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Kahf misalnya member tekanan pada tercapainya
tujuan kegiatan produksi yang harus selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Mannan melalui penolakannya terhadap konsep
Pareto Optimality pada dasarnya juga mempromosikan ide mengenai pentingnya
distribusi alokatif yang lebih adil
diantara manusia yang dipercayai bias mengangkat harkat hidup manusia. Selain
itu senada dengan hal ini Rahman sebagaimana telah dijelaskan di muka juga
mengadvokasikan kemerataan produksi yang berarti bias menciptakan pemerataan kesejahteraan
manusia. Kahf dan UI mengategorikan kegiatan produksi sebagai wajib kifayah. Pengategorian
ini penting untuk menjamin berlangsungnya kegiatan produksi sebagai jalan untuk
mencapai kesejahteraan (manusia) didunia dan di akhirat.
Dari berbagai definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa kepentingan manusai yang sejalan dengan moral Islam, harus
menjadi target atau focus dari kegiatan produksi.
2.
Tujuan produksi menurut islam
Secara
lebih spesifik tujuan produksi adalah menigkatkan kemaslahatan dalam berbagai
bentuk daintaranya:[5]
a.
Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat
moderat
Tujuan
produksi yang ini sudah jelas bahwa pemenuhan kebutuhan manusia pada takaran
moderat. Hal ini setidaknya akan menimbulkan dua implikasi. Pertama,
produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (needs)
meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen. Barang dan jasa yang
dihasilkan harus mempunyai manfaat riil bagi kehidupan Islami, bukan sekedar
memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Kedua, kuantitas produksi
tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi
barang dan jasa secara berlebihan tidak hanya saja menimbulkan mis-alokasi
sumber daya ekonomi dan kemubadziran (wastage), tetapi juga menyebabkan
terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan salah
satu masalah serius dalam pembangunan ekonomi modern saat ini.
b.
Menemukan kebutuhan masyarakat dan
pemenuhannya
Meskipun
produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti bahwa
produsen sekedar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produsen harus
proaktif, kretif, dan inovatif menemukan berbagai barang dan jasa yang memang
dibutuhkan oleh manusia. Penemuan ini kemudian disosialisasikan atau
dipromosikan kepada konsumen sehingga konsumen mengetahuinya. Sikap proaktif
juga tidak mengetahui apa yang sesungguhnya yang dibutuhkannya. Sikap proaktif
juga harus berorientasi ke depan (future view),[6] dalam
arti pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi
kehidupan masa yang akan datang; kedua, menyadari bahwa sumber daya
ekonomi, baik natural resources atau non natural recources, tidak hanya
diperuntukan kepada manusia yang hidup sakarang, tetapi juga untuk generasi
yang akan datang. Sehingga konsumen pun bisa terkendalikan pola hidupnya dalam
mengkonsumsi suatu barang (tidak rakus).[7]
c.
Mewujudkan kemandirian umat
Tujuan
lain dari produksi selain dua tujuan diatas yaitu untuk merealisasikan
(ekonomi) umat. Maknanya, hendaknya umat memiliki barnagai macam kemampuan,
keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhnya kebutuhan material dan
spiritual.[8] Juga
terpenuhnya kebutuhan peradaban dan ketentaraan, yang oleh ahli fiqh disebut
(fardhu kifayah). Fardhu kifayah ini mencakup amal, ilmu, industry dan
kemampuan lainnya yang dengannya manusia bisa melakukan urusan agama dan
dunianya. Kewajiban mereka saat itu adalah mengajarkan, mempelajari dan
menekuni berbagai disiplin ilmu tersebut, sehingga umat Islam tidak menggantungkan
diri pada umat Islam lainnya dan agar umat-umat lain juga tidak
mengendalikannya.
Tanpa
memenuhi kebutuhan tersebut, umat Islam tidak mungkin dapat merealisasi sikap
izzah (harga diri) yang Allah tetapkan dalam kitabnya (Al-Quran)
وَلِلهِ الْعِزَّةُوَلِرَسُوْلِه
وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ ............" "...................
Artinya:
………”Dan hanya baginyalah (Allah) ‘izzah itu, juga bagi rasulnya dan bagi
orang-orang mukmin”…….(Al-Munafiqun:8)[9]
B.
Produksi Dalam
Batas-Batas yang Halal
Ahklak utama dalm produksi yang wawjib diperhatikan kaum muslimin, baik
secara individual maupun secara bersama-sama, ialah bekerja pada bidang yang
dihalalkan oleh Allah. Tidak melampaui yang diharamkan-Nya. Meskipun ruang
lingkup yang halal itu luas, tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan
oleh ketamakan dan kekuasaan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang
sedikit, tidak merasa kenyang dengan
yang banyak. Tidak cukup bagi mereka yang halal sekalipun banyak dan melimpah
sehingga air liurnya mengalir terhadap yang haram, dan tidak patuh pada
atura-aturan Allah, sebagaimana firman Allah:
Artinya: ”……Dan
barang siapa yang melampaui batas-batas Allah, maka mereka itulah orang-orang
yang dzalim”. (Al-Baqarah: 229)[10]
Produsen-produsen
di bawah naungan system ekonomi buatan manusia tidak mengenal batas-batasa
halal dan haram. Keinginan mereka adalah memanfaatkan apa saja yang bisa
diproduksi dalam berbagai macam usaha dan keuntungan material. Tidak penting
apakah produksi mereka membawa ahklak atau tidak. Bahkan pertanyaan-pertanyaan
seperti ini tidak terdapat pada diri mereka. Menurut prinsip mereka hal ini
adalh salah, karena mengaitkan antara ekonomi dengan ahklak, atau antara
produksi dengan nilai. Pengaitan itu menurut mereka tidak benar, tidak diterima,
dan tidak ada gunanya.
Sikap seorang
muslim sangat berbeda sekali. Seorang muslim tidak boleh menanam sesuatu yang
tidak halal dimakan, seperti tanam-tanaman yang memabukkan yang buahnya
menghasilkan opium. Haram menanamnya dan membuat segala sesuatu yang
memudharatkan manusia, baik dalam bentuk makanan, minuman, obat, atau dalam
bentuk lainnya. Contohnya tembakau. Ilmu pengetahuan dan penelitian telah
membuktikan dan menetapkan kemudhorotannya secara meyakinkan, bahkan seluruh
lembaga ilmiah dan kedokteran didunia telah memperingatkan bahayanya. Seorang
muslim tidak boleh memudhorotkan dirinya dan orang lain, tidak boleh
memudhorotkan dan saling memudhorotkan dalam Islam.
Dalam sebuah
hadist shahih dikemukakan
Artinya:
“barang siapa didalam Islam memprakarsai suatu perbuatan yang buruk, maka
baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sesudahnyatanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun.
Sangat
diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak segala sesuatu yang shohih
dan ahklak yang utama dan segala sesuatu yang melucuti identitas ummat, menggoncangkan
nilai-nilai agama dan ahklak, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan
menjauhkannya dari keseriusannya, mendekatkan pada kebathilan, dan menjauhkan
dari kebenaran, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat. Contoh dalam kaitan
ini adalah memproduksi beraneka ragam kesenian, film-film (sinetron) cabul,
nyanyian, majalah, iklan-iklan tertulis maupun tidak tertulis, yang tidak
sesuai dengan nilai aqidah dan ahklak. Prosedur semacam ini pernah memikirkan
kehalalan dan keharaman. Yang mereka pikirkan adalah pendapatan, uang dan
kekayaan.
C.
Memelihara
Sumber Daya Alam
Sumber daya
alam merupakan ni’mat Allah kepada makhluknya. Manusia wajib mensyukurinya. Di
antara bentuk syukur itu adalah dengan menjaga dari kerusakan, kehancuran, dari
polusi dan lain sebagainya yang tergolong kerusakan di muka bumi. Allah
berfiraman:
Artinya:
“…..Dan janganlah kalian membuat kerusakan dimuka bumi setelah
keberesasnnya……”.(Al-‘Araf: 56)
Perusakan
sumber daya atau kadang kala dalam bentuk material, misalnya dengan
menghancurkan orang-orang yang memakmurkannya, mengotori kesuciannya,
menghancurkan benda-benda hidupnya, merusak kekayaanya, atau menghilangkan
kemanfa’atannya. Kadang kala bersifat spiritual, seperti menyebarkan kedzaliman,
meramaikan kebhatilan, memperkuat
keburukan, mengeruhkan hati nurani dan menyesatkan akal fikiran.
Adapun hal-hal
yang tidak diperbolehkan yang bisa merusak kekayaan alam diantaranya yaitu:
1.
Menyia-nyiakan
kekayaan pertanian dan perternakan
2.
Membunuh burung
secara sia-sia
3.
Memotong pohon
bidara
4.
Memubadzirkan
makanan, dll.
,
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Peringatan
Allah Akan Kekayaan Alam
firman Allah:
2. وسخر
لكم مافي السموث وما في الارض جميعامنه ان في ذلك لا يث لقوم يثفكرون
Artinya: “Dan dia (Allah)
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ini
semuanya (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (al-jaatsiyah:
13)
a. Tujuan
produksi menurut islam
1)
Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat
moderat
2)
Menemukan kebutuhan masyarakat dan
pemenuhannya
3) Mewujudkan
kemandirian umat
2.
Produksi Dalam
Batas-Batas yang Halal
firman Allah:
Artinya: ”……Dan barang siapa yang melampaui batas-batas Allah, maka
mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah: 229)
3.
Memelihara
Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan ni’mat Allah kepada makhluknya. Manusia
wajib mensyukurinya. Di antara bentuk syukur itu adalah dengan menjaga dari
kerusakan, kehancuran, dari polusi dan lain sebagainya yang tergolong kerusakan
di muka bumi.
Adapun hal-hal
yang tidak diperbolehkan yang bisa merusak kekayaan alam diantaranya yaitu:
1.
Menyia-nyiakan
kekayaan pertanian dan perternakan
2.
Membunuh burung
secara sia-sia
3.
Memotong pohon
bidara
4.
Memubadzirkan
makanan, dll.
[1]Yusuf
Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, Jakarta: Robbani Press, h. 138.
[2]Anonim,
Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:CV
J-ART, h. 499.
[3]Burhanuddin
Abdullah, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali
Press, h 230.
[4]Ibid, h.230.
[5]Ibid,
h. 232.
[6]Ibid,
h. 233.
[7]Suhrawardi.
K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur: Sinar Grafika, h. 25.
[8]Qardhawi,
Op,Cit., h. 189.
[9]Anonym,
Al-Quran dan Terjemahnya, Solo: Qomari, h. 555.
[10]Anonym, Al-Quran dan Terjemahnya, Solo:
Qomari, h. 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar