Rabu, 03 April 2013

Prinsip2 Ekonomi


BAB I
PENDAHULUAN

A.        LATAR BELAKANG MASALAH
Nilai dan moral dalam Islam sangat didahulukan dalam hal apapun termasuk dalam memelihara alam. Alam yang diciptakan oleh Allah SWT, sangatlah diwajibkan bagi seluruh umat manusia untuk menjaganya dari berbagai ulah manusia yang merusaknya. Salah satunya adalah kegiatan memproduksi sumber-sumber kekayaan lingkungan demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini kami sebagai pemakalah akan mengupas tentang batas-batas dalam memproduksi kekayaan alam ,peringatan Allah akan kekayaan alam, memelihara sumber daya alam, dan lain sebagainya.
B.        RUANG LINGKUP
Ruang lingkup makalah ini adalah membahas tentang “Nilai Dan Etika Dalam Bidang Pengelolaan Kekayaan Alam”.
C.        TUJUAN PENULISAN,
Adapun penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah “PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM”, yang menjadi salah satu indikasi system penilaian disetiap mata kuliah. Dan diharapkan pula dari makalah ini mahasiswa dapat memahami nilai dan etika dalam bidang pengolaan kekayaan alam, sehingga dapat mengambil sisi positifnya bagaimana menjadi seorang pakar ekomnom Islam.
D.        RUMUSAN MASALAH
1.    Peringatan Allah Akan Kekayaan Alam
2.    Produksi dalam batas yang halal
3.    Memelihara Sumber-Sumber Daya Alam


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Peringatan Allah Akan Kekayaan Alam
Produksi diefinisikan sebagai menciptakan kekayaan melalui ekploitasi menusia terhadpa sumber-sumber kekayaan lingkungan.[1] adapun berbagai sumber-sumber kekayaan alam itu diantaranya adalah lapisan gas dengan beraneka ragam unsurnya.ia adalh lapisan kering dalam bentuaka tanah, batu-batu bumi dan tambangnya. Ia lapisan air. Ia adalah fauna dengan beraneka ragam. Ia tumbuh-tumbuhan dalam bentuk hutan yang lebat dan rerumputan, kekayaan laut baik yang terdapat di tepi laut ataukah yang berada ditengah laut yang dalam.
Itulah yang diterapkan oleh para ahli ekonom. Apabila kita merenungkan Al-Quran, maka kita akan mendapatkan betapa Al-Quran mendorong kita untuk mengolah sumber alam ini. Al-Quran mengatakan akal kita dengan penuh kekuatan terhadap alam semesta yang ada disekeliling kita seperti udara, air, laut, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, barang keras, matahari, bulan, malam,dan siang. Semua itu ditundukan untuk kebutuhan menusia, sebagai pemuliaan Allah terhadap manusia untuk memandatkan segala yang ditundukkan kepadanya.
Sebagaimana firman Allah:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَافِيْ السَّمـوتِ وَمَا فِيْ الْاَرْضِ جَمِيْعًامِنْهُ اِنَّ فِيْ ذلِكَ لَا يتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:
 “Dan dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ini semuanya (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (al-jaatsiyah: 13)[2]

1.         Pengertian dan ruang lingkup produksi menurut islam
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen[3]. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kaloi dilakukan oleh seseorang sendiri.
Beberapa pengertian produksi menurut para ekonom muslim kontemporer:
a.    Khaf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam persepektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbauki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untukmencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b.    Mannan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang Islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional
c.    Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secara merata)
d.   UI Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardhu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
e.    Siddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kemanfaatan (mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bersikap adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.[4]
Dalam definisi-definisi tersebut diatas terlihat sekali Bahwa kegaitan dalam perspektif ekonomi Islam akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, m eskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Kahf  misalnya member tekanan pada tercapainya tujuan kegiatan produksi yang harus selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Mannan melalui penolakannya terhadap konsep Pareto Optimality pada dasarnya juga mempromosikan ide mengenai pentingnya distribusi alokatif  yang lebih adil diantara manusia yang dipercayai bias mengangkat harkat hidup manusia. Selain itu senada dengan hal ini Rahman sebagaimana telah dijelaskan di muka juga mengadvokasikan kemerataan produksi yang berarti bias menciptakan pemerataan kesejahteraan manusia. Kahf dan UI mengategorikan kegiatan produksi sebagai wajib kifayah. Pengategorian ini penting untuk menjamin berlangsungnya kegiatan produksi sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan (manusia) didunia dan di akhirat.
  Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusai yang sejalan dengan moral Islam, harus menjadi target atau focus dari kegiatan produksi.
2.         Tujuan produksi menurut islam
Secara lebih spesifik tujuan produksi adalah menigkatkan kemaslahatan dalam berbagai bentuk daintaranya:[5]
a.         Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat
Tujuan produksi yang ini sudah jelas bahwa pemenuhan kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini setidaknya akan menimbulkan dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (needs) meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus mempunyai manfaat riil bagi kehidupan Islami, bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak hanya saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran (wastage), tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu masalah serius dalam pembangunan ekonomi modern saat ini.
b.        Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
Meskipun produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti bahwa produsen sekedar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produsen harus proaktif, kretif, dan inovatif menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia. Penemuan ini kemudian disosialisasikan atau dipromosikan kepada konsumen sehingga konsumen mengetahuinya. Sikap proaktif juga tidak mengetahui apa yang sesungguhnya yang dibutuhkannya. Sikap proaktif juga harus berorientasi ke depan (future view),[6] dalam arti pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masa yang akan datang; kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural resources atau non natural recources, tidak hanya diperuntukan kepada manusia yang hidup sakarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Sehingga konsumen pun bisa terkendalikan pola hidupnya dalam mengkonsumsi suatu barang (tidak rakus).[7]
c.         Mewujudkan kemandirian umat
Tujuan lain dari produksi selain dua tujuan diatas yaitu untuk merealisasikan (ekonomi) umat. Maknanya, hendaknya umat memiliki barnagai macam kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhnya kebutuhan material dan spiritual.[8] Juga terpenuhnya kebutuhan peradaban dan ketentaraan, yang oleh ahli fiqh disebut (fardhu kifayah). Fardhu kifayah ini mencakup amal, ilmu, industry dan kemampuan lainnya yang dengannya manusia bisa melakukan urusan agama dan dunianya. Kewajiban mereka saat itu adalah mengajarkan, mempelajari dan menekuni berbagai disiplin ilmu tersebut, sehingga umat Islam tidak menggantungkan diri pada umat Islam lainnya dan agar umat-umat lain juga tidak mengendalikannya.
Tanpa memenuhi kebutuhan tersebut, umat Islam tidak mungkin dapat merealisasi sikap izzah (harga diri) yang Allah tetapkan dalam kitabnya (Al-Quran)
وَلِلهِ الْعِزَّةُوَلِرَسُوْلِه وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ ............" "...................
Artinya: ………”Dan hanya baginyalah (Allah) ‘izzah itu, juga bagi rasulnya dan bagi orang-orang mukmin”…….(Al-Munafiqun:8)[9]
B.       Produksi Dalam Batas-Batas yang Halal
Ahklak utama dalm produksi yang wawjib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual maupun secara bersama-sama, ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan oleh Allah. Tidak melampaui yang diharamkan-Nya. Meskipun ruang lingkup yang halal itu luas, tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kekuasaan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang sedikit,  tidak merasa kenyang dengan yang banyak. Tidak cukup bagi mereka yang halal sekalipun banyak dan melimpah sehingga air liurnya mengalir terhadap yang haram, dan tidak patuh pada atura-aturan Allah, sebagaimana firman Allah:
Artinya: ”……Dan barang siapa yang melampaui batas-batas Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah: 229)[10]
Produsen-produsen di bawah naungan system ekonomi buatan manusia tidak mengenal batas-batasa halal dan haram. Keinginan mereka adalah memanfaatkan apa saja yang bisa diproduksi dalam berbagai macam usaha dan keuntungan material. Tidak penting apakah produksi mereka membawa ahklak atau tidak. Bahkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak terdapat pada diri mereka. Menurut prinsip mereka hal ini adalh salah, karena mengaitkan antara ekonomi dengan ahklak, atau antara produksi dengan nilai. Pengaitan itu menurut mereka tidak benar, tidak diterima, dan tidak ada gunanya.
Sikap seorang muslim sangat berbeda sekali. Seorang muslim tidak boleh menanam sesuatu yang tidak halal dimakan, seperti tanam-tanaman yang memabukkan yang buahnya menghasilkan opium. Haram menanamnya dan membuat segala sesuatu yang memudharatkan manusia, baik dalam bentuk makanan, minuman, obat, atau dalam bentuk lainnya. Contohnya tembakau. Ilmu pengetahuan dan penelitian telah membuktikan dan menetapkan kemudhorotannya secara meyakinkan, bahkan seluruh lembaga ilmiah dan kedokteran didunia telah memperingatkan bahayanya. Seorang muslim tidak boleh memudhorotkan dirinya dan orang lain, tidak boleh memudhorotkan dan saling memudhorotkan dalam Islam.
Dalam sebuah hadist shahih dikemukakan
Artinya: “barang siapa didalam Islam memprakarsai suatu perbuatan yang buruk, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sesudahnyatanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak segala sesuatu yang shohih dan ahklak yang utama dan segala sesuatu yang melucuti identitas ummat, menggoncangkan nilai-nilai agama dan ahklak, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkannya dari keseriusannya, mendekatkan pada kebathilan, dan menjauhkan dari kebenaran, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat. Contoh dalam kaitan ini adalah memproduksi beraneka ragam kesenian, film-film (sinetron) cabul, nyanyian, majalah, iklan-iklan tertulis maupun tidak tertulis, yang tidak sesuai dengan nilai aqidah dan ahklak. Prosedur semacam ini pernah memikirkan kehalalan dan keharaman. Yang mereka pikirkan adalah pendapatan, uang dan kekayaan.
C.     Memelihara Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan ni’mat Allah kepada makhluknya. Manusia wajib mensyukurinya. Di antara bentuk syukur itu adalah dengan menjaga dari kerusakan, kehancuran, dari polusi dan lain sebagainya yang tergolong kerusakan di muka bumi. Allah berfiraman:
Artinya: “…..Dan janganlah kalian membuat kerusakan dimuka bumi setelah keberesasnnya……”.(Al-‘Araf: 56)
Perusakan sumber daya atau kadang kala dalam bentuk material, misalnya dengan menghancurkan orang-orang yang memakmurkannya, mengotori kesuciannya, menghancurkan benda-benda hidupnya, merusak kekayaanya, atau menghilangkan kemanfa’atannya. Kadang kala bersifat spiritual, seperti menyebarkan kedzaliman,  meramaikan kebhatilan, memperkuat keburukan, mengeruhkan hati nurani dan menyesatkan akal fikiran.
Adapun hal-hal yang tidak diperbolehkan yang bisa merusak kekayaan alam diantaranya yaitu:
1.      Menyia-nyiakan kekayaan pertanian dan perternakan
2.      Membunuh burung secara sia-sia
3.      Memotong pohon bidara
4.      Memubadzirkan makanan, dll.




,

















BAB III
                                                              PENUTUP 

                                                   KESIMPULAN
1.      Peringatan Allah Akan Kekayaan Alam
firman Allah:
2.     وسخر لكم مافي السموث وما في الارض جميعامنه ان في ذلك لا يث لقوم يثفكرون
Artinya: “Dan dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ini semuanya (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (al-jaatsiyah: 13)
a.       Tujuan produksi menurut islam
1)                  Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat
2)                  Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
3)      Mewujudkan kemandirian umat
2.      Produksi Dalam Batas-Batas yang Halal
firman Allah:


Artinya: ”……Dan barang siapa yang melampaui batas-batas Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah: 229)
3.      Memelihara Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan ni’mat Allah kepada makhluknya. Manusia wajib mensyukurinya. Di antara bentuk syukur itu adalah dengan menjaga dari kerusakan, kehancuran, dari polusi dan lain sebagainya yang tergolong kerusakan di muka bumi.
                   Adapun hal-hal yang tidak diperbolehkan yang bisa merusak kekayaan alam diantaranya yaitu:
1.      Menyia-nyiakan kekayaan pertanian dan perternakan
2.      Membunuh burung secara sia-sia
3.      Memotong pohon bidara
4.      Memubadzirkan makanan, dll.













[1]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Robbani Press, h. 138.
[2]Anonim, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:CV J-ART, h. 499.  
[3]Burhanuddin Abdullah, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, h 230.
[4]Ibid, h.230.
[5]Ibid, h. 232.
[6]Ibid, h. 233.
[7]Suhrawardi. K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur: Sinar Grafika, h. 25.
[8]Qardhawi, Op,Cit., h. 189.
[9]Anonym, Al-Quran dan Terjemahnya, Solo: Qomari, h. 555.
[10]Anonym, Al-Quran dan Terjemahnya, Solo: Qomari, h. 36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar